Kamis, 22 September 2011

Garuda_Garudamukha



Merah putih sebagai bendera nasional secara resmi telah berkibar pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 50 tahun yang silam dan pastilah bendera nasional ini akan selalu dan selamanya berkibar di atas bumi persada tercinta, Nusantara.
Di samping bendera merah putih, tidak dapat dipisahkan adalah lambang negara Garuda Pancasila. Bagaimanakah burung gagah perkasa ini bisa ditetapkan sebagai lambang negara? Kiranya dalam suasana menyambut dan memeriahkan tahun emas kemerdekaan Republik Indonesia, kita telusuri kembali makna Garuda yang dikenal pula sebagai burung merah putih baik dalam alam pikiran prasejarah, peninggalan purbakala, dalam karya sastra maupun pandangan hidup bangsa Indonesia di masa yang silam.
Bila kita telusuri peninggalan prasejarah di Indonesia, lukisan burung garuda atau bulu burung garuda dapat ditemukan pada nekara perunggu tipe Pejeng dan cetakan batu dari desa Manuaba. Kecuali burung garuda, pada masa itu telah dikenal pula beberapa jenis burung tertentu seperti enggang dan merak yang dianggap mengandung arti magis-simbolis. Di antara berbagai lukisan burung itu, hiasan burung garuda sangat digemari.
Burung garuda adalah burung matahari atau burung rajawali yang dianggap sebagai lambang dunia atas (Sutaba, 1976,14, Van der Hoop, 1949:178). Lukisan atau relief burung garuda dikenal pula pada masa prasejarah Hindia, yakni ditemukannya lukisan di Harappa (lembah sungai Sindhu) berupa gambar seekor burung garuda yang sedang membabarkan sayapnya dan kepalanya berpaling ke arah kiri. Di atas masing-masing sayapnya terdapat beberapa ekor ular. Burung elang atau garuda yang dilukiskan bersama-sama ular merupakan dasar bentuk binatang garuda yang merupakan wahana dewa Visnu di India, dilukiskan melayang-layang mencucuk seekor ular di paruhnya (Wiryosuparto, 1956: 21). Selanjutnya di dalam Rigveda yang merupakan sumber ajaran agama Hindu dilukiskan berbagai aspek keagungan Tuhan Yang Mahaesa dengan berbagai nama atau wujud seperti Agni, Yama, Varuna, Mitra dan Garutma atau garuda. Kemahakuasaan-Nya bagaikan garuda keemasan yang menurunkan hujan menganugrahkan kemakmuran (Ågveda I.164.46,47,52).
Dalam perkembangan sejarah kebudayaan Nusantara, burung garuda yang terkenal dalam wiracarita Hindu ternyata mempengaruhi kesenian Indonesia (Stutterheim,1926:333), misalnya arca garuda wahana Visnu yang digambarkan sebagai manusia biasa hanya kepalanya diberi bentuk kepala burung(Wiyosuparto,1957: 54). Arca garuda sebagai wahana Visnu yang lain dapat kita ketahui dari gambar sayap burung garuda pada kaki arca Visnu dari candi Banon dan arca garuda mendukung dewa Visnu dari candi Belahan (Kempers,1959: 37,71). Dalam bentuk pahatan relief dapat kita ketahui dari relief garuda menyembah Visnu yang didukung oleh naga Ananta, salah satu episode dari ceritra Ràmàyana pada relief candi Úiva, Prambanan, relief garuda pada candi Kidal, Kedaton dan Sukuh(Ibid,74,97,102). Pada umumnya relief-relief garuda pada candi-candi tersebut mempunyai pertalian yang erat sekali dengan ceritra Amåta (air kehidupan abadi) seperti dilukisakan secara gamblang di candi Kidal yang mengandung magis-simbolis yakni sebagai lambang kalepasan atau kebebasan jiwa dari seseorang yang telah meninggal dunia (Sutaba,1976:4).
Relief garuda pada candi Kedaton, ceritranya hampir sama dengan garuda pada candi Kidal. Pada candi ini kita melihat relief ibudari Garuda yang bernama dewi Vinata, Garuda sedang menikmati makanan yang diperintahkan oleh ibunya, ia dilarang memakan Brahmana yang masuk kemulutnya (Kempers, 1959:97).Dalam pelinggalan epigrafis, cap atau stempel Garudamukha pertama kali dipakai oleh Úri Mahàràja Balitung (808-910) yang memerintah di Jawa Tengah. Sejak pertengahan abad X sampai permulaan abad XIII burung garuda dijadikan lencana kepala negara terutama yang sangat terkenal adalah cap Garudamukha yang dipakai oleh Prabhu Airlangga (1016-1042). Cap Garudamukha dipakai tidak saja pada piagam negara melainkan terutama menguatkan surat-surat atau tulisan di atas batu yang dipakai sebagai tanda pemberian tanah kepada Talan oleh Airlangga dalam tahun 1039 dengan dibubuhi cap Garudhamukha itu, anugrah ini dikuatkan lagi oleh raja Jayabhaya yang memerintah Kadiri dalam abad XII. Rupanya terus-menerus sejak Airlangga sampai kepada Kertajaya, raja Kadiri yang paling akhir (1222), Garudamukha dipakai sebagai cap kepala negara. Di antaranya juga oleh raja Jayabhaya yang sampai kini menjadi terkenal namanya sebagai pemegang lambang dan nujum ke arah masa depan (Yamin, 1954:130,134).



Ceritra dan peranan sang Garuda rupanya sangat populer di dalam kesusastraan Jawa Kuno. Hal ini dapat kita ketahui dalam kakawin Ràmàyana, yakni episode Garuda yang gagah perkasa dengan kekuatannya yang dahsyat mampu membebaskan Sri Ràma dan seluruh pengikutnya dari belenggu ikatan naga tali yang dilemparkan oleh putra Ravana bernama Indrajit (Ràm,XXI,149-155).
Di dalam Àdiparva kita jumpai episode kelahiran sang Garuda serta missi yang diembannya untuk membebaskan ibu kandungnya dari perbudakan atau penjajahan yang dilakukan oleh sang Kadru (Àdiparva, VI) sedang di dalam kakawin Bhomàntaka dijelaskan peranan sang Garuda membantu Úri Kåûóa yang bertempur menghadapi raja raksasa yang bernama Bhoma. Garuda dengan kibasan sayapnya menyebabkan terpental dan lepasnya mahkota milik sang Bhoma yang berisi permata ajimat bernama Vijayamàlà. Vijayamàlà ini segera diambil oleh sang Garuda yang menerbangkannya jauh tinggi dan kemudian Úri Kåûóa berhasil memenggal leher sang Boma, kepalanya dengan wajahnya yang menyeringai jatuh kepangkuan ibu pertiwi (Bhomàntaka,CVIII.1-4).
Rupanya episode ini mengilhami para arsitek tradisional Bali (undagi/sangging) untuk menempatkan ukiran Bhoma di atas pintu (ambang) Kori Agung, pintu masuk sebuah pura.
Lebih jauh di dalam kakawin Bhàratayuddha disebutkan bahwa kereta Úri Kåûóa dihiasi bendera (dvaja) berwujud raja burung, yakni Garuda yang seakan-akan berteriak di angkasa diikuti oleh gemuruhnya suara gamelan (IX.10). Pada episode berikutnya dijelaskan gelar perang (formasi menyerang dan bertahan) yang disebut Garudavyùha. Drupada sebagai kepala, paruhnya adalah Arjuna, punggungnya para raja yang dipimpin oleh Yudhistira. Dåûþadyumna dan bala tentaranya sebagai sayap kanan, Bhima mengambil formasi sebagai sayap kiri. Satyaki sebagai ekor burung garuda. Formasi tempur Garudavyùha ini ditiru pula oleh pihak lawan, yakni Kaurava yang dipimpin oleh Suyodhana (XII.6-8).Di samping dalam karya sastra berbahasa Jawa Kuno tersebut di atas, dalam puja atau stuti dan stava para pandita Hindu di Bali dapat dijumpai sebuah mantra atau stava yang disebut Gàrudeyamantra. Mantra ini pertama kali ditemukan di puri Cakranegara, Lombok dan telah diedit oleh Juynboll (1927) yang dikutip pula oleh Mr.Muhammad Yamin dalam bukunya 6000 Tahun Sang Merah Putih (1954:130).
Mantra ini diucapkan oleh para pandita sesaat sebelum menikmati hidangan untuk mencegah racun yang mungkin terdapat dalam makanan tersebut. Berikut dikutipkan terjemahan mantra, tersebut :
“Garuda adalah burung yang sangat berkesan dan menakutkan, giginya tajam, matanya merah. Paruhnya besar dan lehernya panjang, memiliki kecepatan bergerak bagaikan angin ″.
“Kedua lututnya berwarna emas, perutnya berbentuk gunung, lehernya bercahaya bagaikan sinar matahari dan kepalanya nampak seperti cahaya berpijar ″.
“Warna bulunya kuning mengesankan. dari kakinya sampai ke lutut. Warna tubuhnya putih mengesankan dari pahanya sampai ke pusarnya ″.
“Warna merah mengesankan dari hati sampai ke bawah paruh. Warna hitam mengesankan dari paruh sampai bagian atas kepalanya ″

(Hooykaas, 1971:269).
Burung garuda yang dilihat dari penampilannya sesuai terjemahan mantra di atas disebut sebagai burung merah putih yang di dalam bahasa Sanskerta disebut “Sveta-rakta- khagaá”, sebagai juga dipopulerkan oleh Prof.Mr.Muhammad Yamin salah seorang dari founding fathers bangsa kita.
Ternyata garuda tidak hanya disebut-sebut dalam karya sastra tetapi menyatu dengan pandangan hidup masyarakat, terutama masyarakat Bali yang beragama Hindu. Dalam arsitektur tradisional Bali, burung garuda juga di tempatkan di belakang bangunan suci Padmàsana, Gedong Bata, Bade (menara pengusung jenasah dalam upacara Ngaben), pada “tugeh” (tiang penyangga atap puncak) pada Bale Dangin (balai tempat menyelenggarakan upacara kematian) dan lain-lain, bahkan di dalam sesajenpun, khususnya “banten pasucian” dalam tingkatan upacara yang besar terdapat juga sesajen bernama “Banten Garuda”. Juga banten pangesoring Sùrya dan Ulam Babangkitpun menurut lontar Kunadåûþaprakåtti menggunakan sate berbentuk garuda”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, garuda dalam alam pikiran bangsa Indonesia di masa yang lalu maupun masyarakat Bali kini tetap berpegang kepada nilai filosofis atau makna garuda sebagai salah satu aspek kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai burung merah putih (sveta-rakta-khagah) yang mempunyai missi untuk membebaskan umat manusia dari belenggu perbudakan atau penjajahan, baik penjajahan jasmani maupun belenggu dunia material yang menyesatkan.
Sungguh sangat tepat pilihan para pendiri negara, menjadikan Garuda yang kakinya mencengkram sasanti Bhineka Tunggal Ika dan di dadanya tergantung perisai sebagai simbolis Pancasila, lengkap dengan Candrasangkalanya, 17-8-45, sebagai lambang negara yang kita cintai. Semoga misi garuda Pancasila membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dalam wujud kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan segera tuntas dan entas oleh kibasan sayapnya yang perkasa.

diambil dari :
sasananuswantara.wordpress.com

Sabtu, 09 April 2011

PANDAWA (पाण्डव / Pāṇḍava)


Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa Sanskerta (Dewanagari: पाण्डव; Pāṇḍava), yang secara harfiah berarti anak Pandu (Dewanagari: पाण्डु; ,IAST: Pāṇḍu, पाण्डु), yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara ayah mereka (Pandu). Menurut susastra Hindu (Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harfiahnya adalah "perut serigala". Kelima Pandawa menikah dengan Dropadi yang diperebutkan dalam sebuah sayembara di Kerajaan Panchala, dan memiliki (masing-masing) seorang putera darinya.

Para Pandawa merupakan tokoh penting dalam bagian penting dalam wiracarita Mahabharata, yaitu pertempuran besar di daratan Kurukshetra antara para Pandawa dengan para Korawa serta sekutu-sekutu mereka. Kisah tersebut menjadi kisah penting dalam wiracarita Mahabharata, selain kisah Pandawa dan Korawa main dadu.


Para Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna) merupakan putra kandung Kunti, sedangkan yang lainnya (Nakula dan Sadewa) merupakan putra kandung Madri, namun ayah mereka sama, yaitu Pandu.

Menurut tradisi Hindu, kelima putra Pandu tersebut merupakan penitisan tidak secara langsung dari masing-masing Dewa. Hal tersebut diterangkan sebagai berikut:

* Yudistira penitisan dari Dewa Yama, dewa akhirat;
* Bima penitisan dari Dewa Bayu, dewa angin;
* Arjuna penitisan dari Dewa Indra, dewa perang;
* Nakula dan Sadewa penitisan dari dewa kembar Aswin, dewa pengobatan.


Yudistira

Yudistira merupakan saudara para Pandawa yang paling tua. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Yama dan lahir dari Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh, dan hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral yang sangat tinggi dan suka mema’afkan serta suka mengampuni musuh yang sudah menyerah. Memiliki julukan Dhramasuta (putera Dharma), Ajathasatru (yang tidak memiliki musuh), dan Bhārata (keturunan Maharaja Bharata). Ia menjadi seorang Maharaja dunia setelah perang akbar di Kurukshetra berakhir dan mengadakan upacara Aswamedha demi menyatukan kerajaan-kerajaan India Kuno agar berada di bawah pengaruhnya. Setelah pensiun, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama dengan saudara-saudaranya yang lain sebagai tujuan akhir kehidupan mereka. Setelah menempuh perjalanan panjang, ia mendapatkan surga.


Bima

Bima merupakan putra kedua Kunti dengan Pandu. Nama bhimā dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "mengerikan". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan Bayusutha. Bima sangat kuat, lengannya panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling sangar di antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki hati yang baik. Pandai memainkan senjata gada. Senjata gadanya bernama Rujakpala dan pandai memasak. Bima juga gemar makan sehingga dijuluki Werkodara. Kemahirannya dalam berperang sangat dibutuhkan oleh para Pandawa agar mereka mampu memperoleh kemenangan dalam pertempuran akbar di Kurukshetra. Ia memiliki seorang putera dari ras rakshasa bernama Gatotkaca, turut serta membantu ayahnya berperang, namun gugur. Akhirnya Bima memenangkan peperangan dan menyerahkan tahta kepada kakaknya, Yudistira. Menjelang akhir hidupnya, ia melakukan perjalanan suci bersama para Pandawa ke gunung Himalaya. Di sana ia meninggal dan mendapatkan surga. Dalam pewayangan Jawa, dua putranya yang lain selain Gatotkaca ialah Antareja dan Antasena.


Arjuna

Arjuna merupakan putra bungsu Kunti dengan Pandu. Namanya (dalam bahasa Sansekerta) memiliki arti "yang bersinar", "yang bercahaya". Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah dan dianggap sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Kemahirannnya dalam ilmu peperangan menjadikannya sebagai tumpuan para Pandawa agar mampu memperoleh kemenangan saat pertempuran akbar di Kurukshetra. Arjuna memiliki banyak nama panggilan, seperti misalnya Dhananjaya (perebut kekayaan – karena ia berhasil mengumpulkan upeti saat upacara Rajasuya yang diselenggarakan Yudistira); Kirti (yang bermahkota indah – karena ia diberi mahkota indah oleh Dewa Indra saat berada di surga); Partha (putera Kunti – karena ia merupakan putra Perta alias Kunti). Dalam pertempuran di Kurukshetra, ia berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat menjadi raja. Setelah Yudistira mangkat, ia melakukan perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama para Pandawa dan melepaskan segala kehidupan duniawai. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan mencapai surga.


Nakula

Nakula merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Sadewa, yang lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama adiknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Nakula pandai memainkan senjata pedang. Dropadi berkata bahwa Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia dan merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam masa pengasingan di hutan, Nakula dan tiga Pandawa yang lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun ia hidup kembali atas permohonan Yudistira. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengasuh kuda. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga.


Sadewa

Sadewa merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama Nakula, yang lebih besar darinya, dan merupakan penjelmaan Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia bersama kakaknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain. Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa juga merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu astronomi. Yudistira pernah berkata bahwa Sadewa merupakan pria yang bijaksana, setara dengan Brihaspati, guru para Dewa. Ia giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja Wirata, ia berperan sebagai pengembala sapi. Menjelang akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga.

__________________________________________________________________________________

Para Pandawa mencapai Moksa

Setelah Kresna wafat, Byasa menyarankan para Pandawa agar meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup sebagai pertapa. Sebelum meninggalkan kerajaan, Yudistira menyerahkan tahta kepada Parikesit, cucu Arjuna. Para Pandawa beserta Dropadi melakukan perjalanan terakhir mereka di Gunung Himalaya. Sebelum sampai di puncak, satu persatu dari mereka meninggal dalam perjalanan. Hanya Yudistira yang masih bertahan hidup dan didampingi oleh seekor anjing yang setia. Sesampainya di puncak, Yudistira dijemput oleh Dewa Indra yang menaiki kereta kencana. Yudistira menolak untuk mencapai surga jika harus meninggalkan anjingnya. Karena sikap tulus yang ditunjukkan oleh Yudistira, anjing tersebut menampakkan wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Dewa Dharma berkata bahwa Yudistira telah melewati ujian yang diberikan kepadanya dengan tenang dan ia berhak berada di surga.

Sesampainya di surga, Yudistira terkejut karena ia tidak melihat saudara-saudaranya, sebaliknya ia melihat Duryodana beserta sekutunya di surga. Dewa Indra berkata bahwa saudara-saudara Yudistira berada di neraka. Mendengar hal itu, Yudistira lebih memilih tinggal di neraka bersama saudara-saudaranya daripada tinggal di surga. Pada saat itu, pemandangan tiba-tiba berubah. Dewa Indra pun berkata bahwa hal tersebut merupakan salah satu ujian yang diberikan kepadanya, dan sebenarnya saudara Yudistira telah berada di surga. Yudistira pun mendapatkan surga.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa

Ilustrated by: Wang'ZW (Do not copy without my permission)

Minggu, 06 Maret 2011

Elves / Elf



Elf
Bahasa : Quenya, Telerin, Sindarin, Nandorin
Warna kulit : putih
Warna rambut : Hitam, coklat, pirang (Vanyar), kelabu(jarang ditemui di Sindar)
Deskripsi : Tinggi, kuat, pecinta damai, indah, bertelinga runcing dan berumur panjang, awet muda bahkan abadi

Pada legendarium J. R. R. Tolkien, Elf diceritakan sebagai ras yang lebih dahulu ada daripada manusia dan lebih unggul dibanding dengan manusia. Elf, bersama-sama dengan manusia dan Dwarf, merupakan penghuni dunia fiksi Dunia Tengah yang baik; selain ketiga ras utama tersebut, banyak pula ras-ras "jatuh" yang merupakan pengkorupsian dari ketiga ras ini. Proses kejadian para Elf diceritakan pada buku Silmarillion (yang disunting dan diterbitkan pasca kematian Tolkien) yang merupakan prekuel dari seri The Lord of the Rings, namun mereka tampil pula dan memiliki peranan penting dalam trilogi LOTR dan hanya memiliki peran kecil dalam The Hobbit. Detil lebih jauh mengenai mereka diberikan dalam tulisan-tulisan Tolkien lainnya yang dikumpulkan menjadi Unfinished Tales (Kisah yang Belum Selesai) dan The Histroy of Middle-earth (Sejarah Dunia Tengah). Buku-buku ini merupakan karya utama Tolkien yang ia kerjakan hingga akhir hayatnya.

Dari legendarium Tolkien mengenai ras Elf yang sangat detil inilah saat ini banyak bermunculan sub-ras dan kisah-kisah yang dipopulerkan melalui buku-buku serta media-media lainnya, contohnya adalah buku dan permainan papan serta permainan video Dungeons & Dragons, World of Warcraft, dan sebagainya. Dapat dikatakan semenjak adanya tulisan Tolkien mengenai Elf ini, figur Elf yang dulunya menyerupai peri atau makhluk halus sekarang kalah terkenal dibanding dengan figur yang menyerupai manusia dengan tubuh langsing dan telinga runcing.




Menurut Silmarillion, Elf merupakan "anak pertama" Arda (dunia), yang telah ada selama jangka waktu yang sangat lama sebelum manusia ("anak kedua") diciptakan. Elf yang pertama "dibangunkan" oleh Eru Iluvatar dekat pantai Cuivienen pada Zaman Dua Pohon di Zaman Pertama. Mereka bangun di bawah sinar bintang, karena matahari dan bulan belum diciptakan, oleh karena itu Elf erat hubungannya dengan bintang dan sinar bintang.

Mereka tinggal di tepi aliran sungai, menciptakan puisi, musik, dan lagu. Mereka juga menciptakan kata-kata baru, memberi nama benda-benda, dan senang memandangi bintang. Mereka bertubuh tinggi, berambut hitam, dan hidup dengan damai karena kejahatan belum masuk ke Arda, dunia mereka.



Para Valar (malaikat) yang memerintah dunia dari Valinor, memutuskan untuk mengundang para Elf (yang dalam bahasa mereka disebut dengan nama Quendi) untuk tinggal bersama mereka karena Melkor, sang Tuan Kegelapan, seorang Valar yang memberontak, ingin menghancurkan segala yang baik di Arda (dunia). Para Valar mengirimkan Orome untuk menjemput para Elf. Dari semua Elf yang ada, tidak semuanya memenuhi panggilan itu, karena mereka belum mengenal siapa para Valar tersebut. Ingwe, Finwe, dan Elwe adalah tiga orang Elf yang bersedia pergi dengan Orome ke Valinor untuk menjadi duta. Sekembalinya mereka dari sana, merekapun mengajak seluruh kaumnya untuk pergi, karena memang Valinor lebih indah daripada Dunia Tengah. Ketiga Elf itu berhasil meyakinkan mayoritas Elf untuk pergi bersama-sama dengan mereka. Namun sebagian kecil menolak, dan mereka ini disebut dengan bangsa Avari (Mereka yang Tidak Mau Ikut) atau Avamanyar (Mereka yang Menolak Pergi ke Aman). Itulah perpecahan yang pertama. Pada akhirnya nanti setelah ratusan tahun berpisah, mereka memiliki bahasa, budaya, perawakan, dan sifat yang berbeda-beda. (Setelah perpecahan besar ini bangsa Avari terpecah-pecah lagi, namun detilnya tidak diketahui oleh manusia. Beberapa suku bermigrasi ke Barat dan bergabung dengan para Nandor, sedikit sampai hingga bertemu para Sindar).

Rombongan Elf yang berangkat ini disebut dengan bangsa Eldar (Kaum Bintang), oleh Orome. Mereka menjadikan Ingwe, Finwe, dan Elwe sebagai pemimpin mereka. Dalam perjalanan ke Barat, mereka melewati Pegunungan Berkabut, dan sebagian Elf, karena takut, memilih untuk tidak meneruskan perjalanan dan menetap di tanah yang mereka sedang lalui. Mereka adalah bagian dari kaum Elwe yang dipimpin oleh Lenwe dan kelompok mereka dinamai Nandor (Mereka yang Kembali). Bangsa Nandor dan Avari disebut dengan nama Moriquendi (Elf Kegelapan). Itulah perpecahan yang kedua.

Kemudian rombongan utama Elf meneruskan perjalanannya melalui Pegunungan Berkabut dan Pegunungan Biru (Ered Lindon atau Ered Luin) menuju Beleriand. Di sana Elwe tersesat dan tidak dapat ditemukan oleh kaumnya, oleh karena itu Ingwe dan Finwe dengan terpaksa meninggalkan Elwe dan kaumnya dan meneruskan perjalanan mereka. Bersama-sama dengan kaum Nandor yang dipimpin oleh Lenwe, kaum Elwe ini disebut sebagai bangsa Teleri. Itulah perpecahan yang ketiga.

Setelah sampai di tepi barat Dunia Tengah yang dipisahkan dengan samudra luas dengan Valinor, Ingwe, Finwe, dan kaum mereka diangkut oleh pulau yang bergerak yang digerakkan oleh Ulmo, salah satu Valar yang menguasai lautan, menuju Valinor di ujung samudera satunya.

Setelah beberapa waktu, Ulmo kembali ke Beleriand untuk mencari kaum Teleri (Mereka yang Datang Terakhir), yaitu kaum Elwe, yang tersisa untuk diajak ke Valinor. Karena Elwe belum ditemukan, maka mayoritas kaum Teleri menunjuk Olwe, saudara Elwe, sebagai pemimpin mereka yang baru, dan bersama-sama mereka memenuhi ajakan Ulmo untuk mengikuti jejak saudara-saudara mereka yang telah sampai ke Valinor. Mereka kemudian disebut sebagai bangsa Falmari.

Namun sebagian kecil kaum Teleri tersebut, terutama orang-orang dekat Elwe, memilih untuk tinggal dan meneruskan pencarian mereka. Mereka disebut sebagai bangsa Sindar (Elf Abu-abu). Bangsa Sindar dan Nandor disebut dengan nama Umanyar (Mereka yang Tidak Sampai ke Aman (Dunia Tengah)).

Dari para Sindar yang tinggal di Dunia Tengah, sebagian memilih untuk tinggal di tepi pantai dan menjadi pembuat kapal. Mereka dipimpin oleh Cirdan sang pembuat kapal. Mereka tinggal di Falas dan disebut sebagai kaum Falathrim (Kaum di tepi Pantai). Kelompok yang tinggal di hutan Doriath disebut dengan Iathrim (Kaum di antara Sabuk) dan sisanya yang menempati daerah barat laut Beleriand di dekat sebuah danau disebut dengan Mithrim (Kaum Abu-abu).

Di kemudian hari, sebagian kaum Noldor mengembara ke Barat dan bertemu dengan kaum Sindar. Mereka kemudian disebut dengan Laiquendi (Elf Hijau).

Di Valinor, ketiga keluarga utama berkumpul (Elwe diwakili oleh Olwe, saudaranya) dan mereka disebut dengan Calaquendi (Elf Cahaya) atau Amanya (Mereka yang Sampai ke Aman). Olwe dan kaumnya memilih untuk tinggal di tepi pantai agar dapat memandangi Dunia Tengah dari jauh. Kaum mereka disebut dengan Falmari (Kaum Penunggang Ombak). Ingwe dan kaumnya tinggal di kediaman para Valor dan menjadi kaum Elf yang paling mulia dan terhormat, layaknya para bangsawan yang terhormat. Mereka tidak pernah menginjakkan kaki ke Dunia Tengah lagi dan mereka disebut dengan nama Vanyar (Elf Rupawan). Finwe dan kaumnya tinggal di antara kedua keluarga yang lain, tidak di dekat pantai dan tidak di dekat kediaman para Valar. Mereka disebut dengan nama Noldor (Elf Dalam) dan dari keturunan kaum merekalah cerita Silmarillion dikisahkan.

Nantinya setelah peristiwa pengasingan para Noldor, Finarfin, putra Finwe, berangkat ke Dunia Tengah bersama kedua saudaranya, Fingolfin dan Feanor, namun memutuskan kembali dan menjadi Raja Noldor di Valinor. Feanor yang diasingkan ke Dunia Tengah dan diikuti oleh Fingolfin saudaranya akhirnya menetap di Dunia Tengah. Mereka disebut sebagai Kaum yang Diasingkan dan Fingolfin menjadi Raja Noldor di Dunia Tengah.

Selain dari pada perpecahan-perpecahan besar tersebut, masing-masing keturunan para Elf yang mula-mula membuat Dinasti-dinasti mereka sendiri. Berdasarkan letak geografis dan situasinya, mereka mengembangkan bahasa yang berlainan, namun bahasa Elf yang utama yang digunakan di Dunia Tengah (dan di buku-buku Tolkien) adalah bahasa kaum Elwe (bahasa Sindarin), dan kaum Noldor yang kembali ke Dunia Tengah dari Valinor akhirnya harus mempelajari bahasa tersebut.

Para Quendi atau Elf pada dasarnya adalah makhluk dengan roh yang abadi, yang tidak lekang dimakan usia; namun bukan berarti tubuh mereka tidak bisa mati. Walaupun roh mereka abadi, namun tubuh mereka mengalami proses penuaan, namun dengan sangat lambat, setara dengan ribuan tahun umur manusia. Tubuh mereka juga dapat mati/hancur karena penyakit, peperangan, dibunuh, dan sebab-sebab tak alami lainnya.

Jika seorang Elf meninggal, maka rohnya akan dikumpulkan bersama kaumnya di Rumah Mandos, sang Valor Kematian, di Valinor; berbeda dengan ras manusia di Dunia Tengah yang tidak diketahui nasibnya setelah meninggal. Setelah beberapa waktu, jasad mereka akan dikembalikan dan mereka dapat tinggal di Valinor, namun mereka tidak akan pernah dapat pergi ke Dunia Tengah lagi.

Finwe, Raja Para Noldor, adalah Elf pertama yang mati. Ia dibunuh oleh Melkor. Sejak saat itu tak terbilang banyaknya Elf yang mati di Dunia Tengah karena peperangan yang tidak berkesudahan antara kekuatan baik (Elf, manusia, Dwarf) dan kekuatan jahat (Melkor/Morgoth, Sauron, Orc, dll)

Elf yang hidup di Dunia Tengah juga berumur sedikit lebih pendek dari mereka yang tinggal di Valinor karena diceritakan bahwa Dunia Tengah telah dicemari oleh Melkor, sang Tuan Kegelapan. Separo-Elf yang merupakan keturunan dari Elf dan manusia juga berumur lebih pendek dari ras Elf murni, namun lebih panjang dari ras manusia.



Tolkien berulang kali menyatakan ketidaknyamanannya dengan penggunaan kata elf dan "asosiasinya yang saya sebenarnya tidak inginkan [...] contohnya dalam karya Drayton atau dalam A Midsummer Night's Dream [raja para peri: Titania dan Oberon]". Dalam karya-karyanya, Tolkien seolah-olah hanya berperan sebagai penerjemah bahasa yang umum digunakan di Dunia Tengah (bahasa Westron) ke dalam bahasa Inggris, dan "elf" merupakan padanan kata terdekat untuk menyebut ras yang pertama tersebut, dengan menyebutkan bahwa "[elf merupakan] bentuk tertua dari nama yang digunakan, dan terserah kepada para pembaca buku saya untuk menentukan asosiasinya."[1] Ia ingin menghindari asosiasi dalam literatur era Victoria tentang "peri" atau makhluk halus yang nakal yang sering dipandankan dengan kata tersebut (elf), dan berusaha untuk menunjukkan makhluk yang lebih berkembang yang "memiliki kekuatan magis yang mengesankan dalam mitologi Teutonik mula-mula" (Oxford English Dictionary viz. bahasa Inggris Kuno ælf, dari Proto-Jermanik *albo-z).

Para Elf juga disebut sebagai "Yang Lahir Pertama"/"Anak Pertama" (Q: Minnonar, atau "Saudara yang Lebih Tua" (bandingkan dengan manusia dalam Dunia Tengah yang disebut sebagai "Yang Lahir Kedua"/"Anak Kedua") karena mereka "dibangunkan" oleh Eru Iluvatar sebelum para manusia. Para Elf menamai diri mereka Quendi ("Yang Berbicara") karena mereka melihat bahwa mereka adalah satu-satunya makhluk yang mampu berbicara. Para Dunedain (Dwarf) menamai mereka Nimir ("Yang Menawan"). Dalam bahasa Sindarin atau bahasa kaum Sindar (Elf Dunia Tengah), mereka menamai diri mereka Eledhrim.[2]


Para Elf mengenal tiga macam nama diri: ataresse, amilesse, dan yang lebih jarang adalah epesse (esse artinya "nama" dalam bahasa Quenya).

* Ataresse adalah nama tunggal yang diberikan oleh ayah mereka pada waktu kelahiran mereka. Biasanya nama ini melambangkan nama ayah dan ibu mereka, menandakan garis keturunan mereka, dan asal kaum mereka.
* Amilesse adalah nama kedua yang mereka terima dari ibu mereka setelah mereka dewasa. Nama ini mencerminkan kepribadian mereka, keahlian mereka, atau nasib mereka - yang kadang-kadang bersifat nubuatan. Nama kedua ini sangat penting bagi seorang Elf.
* Epesse atau nama julukan adalah jenis yang ketiga. Nama ini diberikan jika seorang Elf melakukan suatu hal yang tidak biasa. Nama ini dapat diberikan oleh siapa saja, seringkali merupakan ungkapan kekaguman atau penghormatan. Dalam kasus-kasus tertentu, seorang Elf dapat memilih nama untuk dirinya sendiri yang disebut dengan kilmesse atau "nama sendiri".

Nama mereka yang sebenarnya tetap adalah dua nama yang pertama, meskipun seorang Elf dapat dipanggil dengan menggunakan salah satu dari keduanya. Nama amilesse seorang Elf biasanya tidak digunakan oleh mereka yang tidak begitu mengenalnya.

Setelah pengasingan bangsa Noldor ke Dunia Tengah dan pengadopsian bahasa Sindarin atas bahasa Quenya yang mereka pergunakan di Valinor, kebanyakan Elf Noldor mengadopsi nama terjemahan dalam bahasa Sindarin yang sepadan dengan salah satu nama mereka dalam bahasa Quenya.

Beberapa contoh:

* Galadriel adalah terjemahan untuk Alatariel, epesse yang diberikan oleh Celeborn. Ataressenya adalah Artanis dan Amilessenya adalah Nerwen.

* Maedhros, putra pertama Fëanor, disebut Russandol oleh saudara-saudaranya karena rambutnya yang bewarna perunggu. Ataressenya adalah Nelyafinwe (Finwe ketiga - ayahnya, Feanor, memiliki ataresse Curufinwe) dan Amilessenya adalah Maitimo. Maedhros adalah penerjemahan ke dalam bahasa Sindarin sebagian dari amilesse dan epessenya

* Finrod biasanya disebut dengan Felagund, epesse yang diberikan oleh para Dwarf (aslinya Felakgundu). Finrod mengambil nama tersebut menjadi namanya, dan menjadikannya gelar kehormatan.

* Círdan (Pembuat Kapal) adalah epesse Elf Teleri ini. Nama aslinya (ataressenya) yang jarang disebutkan ialah Nowe.

Drow atau disebut juga sebagai elf hitam berasal sebuah cerita rakyat dari Eropa tepatnya dari Skotlandia. Drow biasanya tidak ramah dan merupakan kebalikan dari elf yang biasanya ramah dan tinggal di hutan belantara, sedangkan drow biasa tinggal di bawah tanah. Drow mempunyai dewa-dewa yang mereka sembah tetapi yang paling banyak dianut adalah Dewi Laba-Laba atau disebut juga Ratu Laba-Laba.

from Wikipedia

Jumat, 25 Februari 2011

Asal usul Teh Melati / Jasmine Tea


Teh Melati / Jasmine Tea / 茉莉花茶(mòlì huāchá) memiliki asal usul yg menarik...

Alkisah, dahulu kala di China hiduplah seorang saudagar yg suka bepegian dari satu kota kekota lainnya. Dia sangat menyukai teh, sehingga sewaktu bepergian dia selalu menyempatkan diri menikmati berbagai jenis teh dari daerah yg dikunjunginya....begitu sukanya terhadap teh, pria itu lebih dikenal sabagai tuan Teh ^ ^

Suatu hari tuan Teh sampai disebuah kota, didepannya berdiri seorang gadis membawa kain kumal yang bertuliskan "1 keluarga mati karena wabah, butuh biaya pemakaman, anak gadis siap menjadi budak majikan baru si pengurus biaya pemakaman".Si tuan teh yang melihat gadis itu merasa kasihan, diambilnya beberapa Tael emas dan diberikannya pada gadis itu untuk pulang dan mengurus biaya pemakaman keluarganya. Si gadis merasa sangat berterimakasih pada tuan Teh yang tak hanya memberinya uang untuk biaya pemakaman, tetapi tuan Teh tidak menjadikannya budak. Si gadis kemudian pergi setelah berlutut berterima kasih pada tuan Teh, dalam hatinya dia berkata bahwa dia akan membalas jasa untuk tuan Teh...

Setahun kemudian si tuan Teh kembali kekota itu, teman tuan teh mengajak tuan Teh untuk mampir kerumahnya sebuah kedai teh...selagi berbincang2, teman tuan teh berkata bahwa si Gadis menitipkan sesuatu padanya untuk diberikan pada tuan Teh. setelah bungkusan dibuka, didalamnya ada sejumput teh kering. Tuan Teh segera menyeduh teh itu, dari asap teh muncullah seorang wanita cantik memegang beberapa bunga melati...teman tuan Teh berkata bahwa itu adalah dewi balas jasa, hanya muncul ketika ada seseorang yang melakukan balas jasa dengan sungguh2, teman tuan teh juga berkata butuh energi yang besar untuk memunculkan dewi balas jasa, mungkin si Gadis sudah tidak ada lagi didunia ini. Si gadis menggunakan seluruh energinya untuk menciptakan sebuah teh dengan cita rasa yang tinggi...

Reteller by: Wang'ZW